Maka, kalau kita memabaca sejarah kehidupan salaf, niscaya kita dapati mereka adalah manusia yang sangat bersemangat terhadap ilmu, menjaga ilmunya, mengamalkan ilmunya, dan wara’ dengan ilmunya tersebut. Inilah manusia yang layak dijadikan “guru ngaji”.
Adapun sekarang, kita dapati kaum muslimin demikian mudah mengangkat orang menjadi “guru ngaji”. Maka, tidak sedikit kita temui ada manusia yang tidak mengetahui Al-Qur’an dan Hadits, tetapi ia dijadikan sebagai da’i hanya karena pintar berorasi.
Maka, semua hal di atas semakin menguatkan pertanyaan banyak kaum muslimin:
Kita mau mengambil ilmu kepada siapa?
Kepada ustadz siapa kita harus ngaji?
Mana yang benar-benar meneladani salaf?
Benarkah ustadz fulan membenci manhaj salaf?
Siapakah ustadz yang benar-benar menjaga kemurnian agama ini?
Siapa…? Siapa…?
Karena saya ingin masuk surga……
Berdasarkan hal di atas, muncullah inspirasi untuk menulis risalah ini. Maka, dengan ini, saya berupaya mengumpulkan sebagian akhlak guru ngaji di masa salaf, agar sahabat bisa membuat kesimpulan, “Sudahkah guru ngaji saya meneladani salaf?”
Ini penting untuk kita ketahui karena…
Tidak semua orang yang menamakan dirinya manhaj salaf, belum tentu ia benar-benar mengikuti salaf. …
Belum tentu orang yang sudah lama ngaji dengan ulama atau syaikh, ia berilmu dan berakhlak sebagaimana gurunya….
Maka, saya pun berharap agar dengan ditulisnya risalah ini, sekaligus bisa menjadi nasehat bagi setiap da’i agar senantiasa menghiasi dirinya dengan sikap wara’, karena hal inilah yang akan mempermudah dirinya dalam mendakwahkan Islam dan indahnya manhaj salaf. Sesungguhnya mendakwahkan al-haq sudah berat, dan jangan diperberat lagi dengan buruknya akhlak kita.
Sekarang, Mari Kita Lihat “Guru Ngaji” di Masa Salafusshalih
I. Tidak Semua yang Pinter itu adalah Ulama yang Hakiki
Abu Muslim Al-Khaulani rahimahullah berkata,
“Ulama ada tiga macam: (1) ulama yang hidup dengan ilmunya dan manusia pun hidup bersamanya, (2) ulama yang hidup dengan ilmunya, tetapi manusia tidak hidup bersamanya, (3) dan ulama yang manusia hidup dengan ilmunya, sementara ia sendiri binasa.
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء 5/121)
Na’am, benarlah Abu Muslim Al-Khaulani rahimahullah. Betapa banyak sekarang ini orang yang memang sudah memiliki ilmu, tetapi ia memanfaatkan ilmunya itu untuk menggiring manusia ke dalam hawa nafsu.
Tidak jarang pula kita dapati orang berilmu yang malah terjun ke politik praktis sehingga ilmu yang telah ia timba selama bertahun-tahun seolah tak berbekas kecuali ia gunakan ilmunya itu untuk menarik massa.
Tidak sedikit pula kita dapati sebagian da’i yang membangga-banggakan ijazah kuliahnya di negeri Arab, tetapi ia malah memalingkan para pemuda dari ilmu-ilmu syar’i menuju ke arah pembicaraan masalah politik kontemporer, yang sering mereka namakan dengan fiqhul waqi’.
II. Jika Guru Ngajimu itu Ahli Fiqh, Ia akan Zuhud kepada Dunia
Imran Al-Qushair rahimahullah bercerita ketika ia kepada Al-Hasan bahwa fuqaha (ahli fiqh) itu adalah orang yang bisa mengatakan demikian dan demikian, Al-Hasan pun balik mengatakan,
“Pernahkah Anda melihat seorang ahli fiqhi yang sesungguhnya? Ahli fiqh yang sebenarnya ialah orang yang zuhud terhadap dunia, waspada terhadap dosanya, dan senantiasa beribadah kepada Rabb-nya”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء II/147)
Catatan Penting: Sekarang ini, banyak sekali da’i yang diklaim menguasai ilmu fiqh karena pandainya mengutip ayat Al-Qur’an dan banyaknya hadits yang ia hafal. Namun, sangat disayangkan da’i tersebut dengan ilmu yang dimilikinya itu, terkadang justru menjustifikasi hal-hal yang bertentangan dengan syariat.
Betapa banyak kita jumpai banyak da’i zaman sekarang yang menghalalkan musik, menghalalkan bunga bank, menghalalkan demonstrasi, menghalalkan mencela pemerintah di muka umum, dan berbagai hal bathil lainnya. Wal’iyadzu billah.
III. Dia Tidak Suka Popularitas
Ibnu Muhallil rahimahullah berkata, Sufyan pernah bertanya kepadaku, “Di mana keselamatan itu?” Aku menjawab, “Ketika Anda tidak dikenal.” Ia pun berkata, “Ini tidak mungkin terjadi. Akan tetapi, keselamatan itu ada ketika Anda tidak suka dikenal.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء VII/13)
IV. Dia Tidak Suka Berdebat dan Membanggakan Pendapatnya Sendiri
Al-Auza’i rahimahullah mendengar Bilal bin Sa’ad berkata,
“Jika Anda melihat seseorang yang keras kepala, suka berdebat, dan bangga pada pendapatnya sendiri, sempurnalah kerugiannya.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء V/228).
V. Guru Ngaji di Masa Salaf Memiliki “Aura Ilmu”.
Asy-Sya’bi rahimahullah pernah diberitahu bahwa si Fulan adalah seorang ulama. Lalu ia berkata,
“Aku tidak melihat aura ilmu pada dirinya.” Seseorang bertanya padanya, “Apa auranya?” Ia menjawab, “Ketenangan. Jika ia berilmu, ia tidak keras. Dan jika ia berilmu, ia tidak sombong.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء 4/323)
VI. Dia bisa menggabungkan antara wara’, ibadah, dan pemahaman fiqh
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata,
“Aku sangat mengagumi forum-forum Sufyan Ats-Tsauri. Anda bisa melihatnya dalam hal wara’. Anda juga bisa melihatnya sebagai orang yang ahli shalat. Anda pun bisa melihatnya menyelam ke dalam ahli fiqh.“
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء , 6/358)
VII. Dia Pandai Menjaga Lisan dan Tidak Suka Menggunjing Manusia
Hazm rahimahullah berkata,
“Maimun bin Siyah tidak mau menggunjing dan tidak membiarkan siapapun menggunjing di sisinya. Ia pasti mencegahnya. Jika tidak berhasil, ia kan meninggalkannya.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء, III/107)
Abu Muslim Al-Khaulani rahimahullah berkata,
“Aku pernah masuk masjid Himsha dan ternyata sudah ada tiga puluhan shahabat Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah senior. Namun, di antara mereka ada seorang pemuda yang matanya bercelak, lekuk-lekuknya bersinar. Ia tidak berbicara dan diam saja.
Ketika orang-orang itu memperdebatkan sesuatu, mereka semua menghadap ke arahnya dan bertanya kepadanya. “Siapa dia?” tanyaku kepada orang yang duduk di sebelahku. Ia menjawab, “Mu’adz bin Jabal.” Aku langsung jatu hati kepadanya. Aku tetap bersamanya sampai mereka bubar.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء, I/230).
VIII. Namun, ketika melihat Kemungkaran, Ia Akan bersegera Bersuara untuk Mencegahnya
Dalam kondisi tertentu, berbicara lebih baik daripada diam. Ibnu Abi Najih rahimahullah meriwayatkan dari ayahnya bahwa Thawus rahimahullah pernah berkata kepadanya,
“Hai Abu Najih, orang yang berbicara dan bertaqwa kepada Allah lebih baik daripada orang yang diam dan bertaqwa kepada Allah.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء, IV/5)
Maka, meskipun salafusshalih adalah manusia yang paling tidak suka banyak berbicara, mereka akan sangat lantang ketika aturan-aturan Allah dilanggar atau melihat bid’ah muncul di tengah masyarakat. Dalam kondisi inilah mereka paling terdepan dalam amar ma’ruf nahi mungkar, dan tidak takut terhadap resiko yang harus dihadapi.
Bisyr bin Harits rahimahullah berkata,
“Amar ma’ruf nahi mungkar hanya layak dilakukan oleh orang yang siap menghadapi resiko.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء, VIII/337)
Oleh karena itu, tidak jarang kita jumpai kisah salaf yang tetap tegar ketika amar ma’ruf nahi mungkar, meskipun dipukuli massa. Hal ini seperti yang terjadi pada Kurz bin Wabrah Al-Haritsi rahimahullah. Diceritakan bahwa
“Apabila Kurz keluar untuk melakukan amar ma’ruf mereka memukulinya sampai pingsan.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء, V/80)
IX. Dia akan gentle untuk mengatakan Tidak Tahu jika memang tidak tahu ilmunya.
Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata,
“Jika seorang ulama tidak mau mengucapkan kata “Aku Tidak Tahu”, berarti dia tertimpa serangan pembunuh”.
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء, VII/274)
Ibnu Mahdi rahimahullah berkata
(*) Ada seseorang bertanya kepada Malik bin Anas tentang suatu masalah.
(+) Lalu dijawab, “Aku tidak menguasainya”.
(-) Orang tersebut berkata, “Aku datang ke tempat Anda dari tempat yang jauh, hanya untuk menanyakan suatu masalah ini kepada Anda.”
(+) Lalu, Imam Malik membalas,
“Jika Anda kembali ke tempat Anda, sampaikanlah kepada mereka bahwa aku berkata kepada Anda bahwa aku tidak menguasainya.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء ,VI/323)
X. Dia Tidak Membanggakan Ilmunya
Para ulama di masa salaf, sangat tawadhu’ meskipun mereka menguasai berbagai bidang ilmu. Membanggakan ilmu, bukanlah sifat dan akhlak mereka. Oleh karena itu, Ka’bul Ahbar rahimahullah berkata,
“Tidak lama lagi kalian akan melihat orang-orang bodoh yang membanggakan ilmu dan berubah sikap seperti wanita yang berubah sikap di depan laki-laki.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء ,V/376)
Masruq rahimahullah juga berkata,
“Seseorang cukup berilmu bila ia takut kepada Allah. Dan seseorang cukup bodoh bila ia kagum pada amalannya sendiri.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء , II/95).
XI. Jangan Ambil Ilmu dari Guru Ngaji yang Tidak Hati-Hati dalam Ilmunya
Shalih bin Mahran rahimahullah berkata,
“Setiap tukang tidak bisa mengerjakan pekerjaannya kecuali dengan alat. Dan alatnya Islam adalah ilmu. Jika Anda melihat orang berilmu yang tidak hati-hati terhadapa ilmunya, Anda tidak boleh mengambil ilmu darinya.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء , X/391).
XII. Ambillah Ilmu dari Guru Ngaji yang Mengamalkan ilmunya
Mughirah rahimahullah meriwayatkan bahwa Ibrahim rahimahullah berkata,
“Dulu, apabila mereka mendatangi seseorang untuk mengambil sesuatu (ilmu) darinya, mereka akan melihat shalatnya, tingkah lakunya, dan tindak tanduknya.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء , IV/225).
Perkataan Mughirah rahimahullah di atas mirip dengan perkataan Abul Aliyah rahimahullah,
“Aku pergi ke rumah seseorang dengan menempuh perjalanan selama beberapa hari. Hal pertama yang aku perhatikan darinya adalah shalatnya. Jika ia melaksanakannya dengan sempurna, aku akan tinggal dan mendengarkan keterangannya.
Jika ia menyia-nyiakannya, aku pulang dan tidak mau mendengarkan keterangannya. Aku mengatakan, “Untuk selain shalat dia pasti lebih parah dalam hal menyia-nyiakannya”.
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء , II/220).
XIII. Anda pun Perlu Belajarlah Kepada Beberapa “Guru Ngaji”, Barangkali Ada Faidah yang Tidak Anda Temukan di Guru Ngaji Pertama Anda…
Hammad bin Zaid rahimahullah berkata bahwa
Ayyub pernah mengatakan kepadaku, “Sungguh, Engkau tidak bisa mengetahui kesalahan gurumu sampai Kau berguru kepada orang lain. Bergurulah kepada banyak orang!”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء , III/9).
IX. Namun, Ingat! Banyak Guru Bukan Berarti Asal Banyak-Banyakan! Perhatikanlah Komitmennya Pada Sunnah dan Kebenciannya Kepada Bid’ah.
Na’am. Dulu, ulama salaf dikenal tegas jika berbicara tentang aturan agama. Oleh karena itu, diriwayatkan bahwa ‘Ali berkata,
“Perintah Allah tidak bisa ditegakkan kecuali oleh orang yang tidak mau kompromi, tidak suka berpura-pura, dan tidak mau mengikuti ketamakan.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء , VII/286).
Maka, mereka pun sangat membenci bid’ah, seperti yang dapat kita lihat dari perkataan Abu Idris Al-Khaulani rahimahullah,
“Aku lebih suka melihat api yang tidak bisa aku padamkan di samping masjid daripada melihat bid’ah yang tidak bisa aku ubah di sana.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء , V/124)
Dengan demikian, mereka juga tidak suka banyak bergaul dengan para pengekor hawa nafsu (Ahlu bid’ah). Salah seorang salaf, Aus bin Abdillah rahimahullah mengatakan,
Sungguh, aku lebih suka duduk bersama monyet dan babi daripada duduk bersama orang yang suka mengikuti hawa nafsu.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء, III/78 )
X. Jika Kau Bergaul dengannya, Kau ‘Kan Lihat Dia Mengamalkan Ucapannya.
Sahal bin Abdillah rahimahullah pernah ditanya oleh seseorang
(?) “Hai Abu Muhammad (nama kunyah Sahal), siapakah yang menurut Anda layak aku temani?”
(>) Ia menjawab, “Bertemanlah dengan orang yang berbicara dengan anggota tubuhnya, dan bukan dengan lidahnya.”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء , X/197).
XI. Jika Kau Bergaul dengannya, ‘Kau ‘Kan Temukan Kesejukan dalam Hatimu
Abul Mulaih berkata bahwa ia pernah mendengar Maimun berkata,
Orang-orang yang berilmu adalah orang yang kucari di setiap tempat. Mereka adalah tujuan yang selalu kucari. Dan aku menemukan keshalihan hatiku di dalam bergaul dengan orang-orang yang berilmu.
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء , IV/85 )
.
Penutup
Itulah di antara sifat “guru ngaji” salaf . Maka, suatu nikmat yang besar bila kita diberi anugerah untuk menimba ilmu kepada guru ngaji yang senantiasa berusaha meneladani salaf. Dan Merugilah orang yang membenci manhaj salaf dan menebarkan fitnah kepada manusia untuk membenci nya.
Namun, catatan yang lebih penting adalah kita sendiri, masih enggankah kita menyatakan diri sebagai seorang salafi? Jika kita masih ragu, buanglah keraguanmu! Bersegaralah kita menjadi seorang yang berusaha meneladani salaf.
Dan bagi saudara-saudaraku yang sudah lama menyatakan dirinya sebagai seorang yang bermanhaj salaf, mari kita bertanya kepada diri kita,
“ Jika kita sudah mengaku sebagai seorang bermanhaj salaf, sudahkah kita berakhlak dengan akhlak salaf?”