Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu'ala Rasulillah, amma
ba'du. Sebelumnya saya mohon ma'af , saya tidak bisa memberi nasihat
lazimnya para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada
kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita... Cerita yang hendak
saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukan cerita biasa.
Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya, yang telah
saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya, mempelai
berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambil hikmah
dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah mutiaranya dan buanglah
lumpurnya.
Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan
hati yang keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta
menghadirkan kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.
Tiga puluh tahun yang lalu ...
Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah
ke atas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan "Pasha" yang
terhormat di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady
dari keluarga aristokrat terkemuka di Ma'adi, ia berpendidikan tinggi,
ekonom jebolan Sorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat
dihormati kalangan elit politik di negeri ini.
Saya anak
sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam suasana
aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan hidup sepenuhnya
diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat. Keluarga besar kami
hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat atau kalangan high
class yang sepadan!
Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan
cara hidup seperti ini. Saya merasa terkukung dan terbelenggu dengan
strata sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan benar
hidup yang saya cari. Saya lebih merasa hidup justru saat bergaul dengan
teman-teman dari kalangan bawah yang menghadapi hidup dengan penuh
rintangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat gusar keluarga saya,
mereka menganggap saya ceroboh dan tidak bisa menjaga status sosial
keluarga. Pergaulan saya dengan orang yang selalu basah keringat dalam
mencari pengganjal perut dianggap memalukan keluarga. Namun saya tidak
peduli.
Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil
mewah. Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan
mobil biasa saja, agar lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para
dosen.Tetapi beliau menolak mentah-mentah.
"Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja" tegas ayah.
Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah
habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati,
saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.
Ketika itu
saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuh pesona
lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan
kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung
hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan
kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi,
sama seperti saya.
Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga
mencintai saya. Saya merasa telah menemukan pasangan hidup yang tepat.
Kami berjanji untuk menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang
diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus
dengan nilai tertinggi di fakultas. Maka datanglah saat untuk mewujudkan
impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh
bahagia di jalan yang lurus.
Saya buka keinginan saya untuk
melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada keluarga. Saya ajak dia
berkunjung ke rumah. Ayah, ibu, dan saudara-saudara saya semuanya takjub
dengan kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita
rasanya dalam memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang
halus.Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya.
Begitu saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan
membanting gelas yang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum:
Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!
Beliau menegaskan
bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan dengan gadis
berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya nyaris pecah
pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak terkira.
Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku
sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang
cukur....tukang cukur, ya... sekali lagi tukang cukur! Saya katakan
dengan bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki
sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya dengan
baik kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak
banyak dilakukan para bangsawan "Pasha". Lewat tangannya ia lahirkan
tiga dokter, seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun dia sama
sekali tidak mengecap bangku pendidikan.
Ibu, saudara dan semua
keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri sendiri, tidak ada yang
membela. Pada saat yang sama adik saya membawa pacarnya yang telah hamil
2 bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah ibu langsung merestui dan
menyiapkan biaya pesta pernikahannya sebesar 500 ribu ponds. Saya protes
kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya
yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak direstui, sedangkan adik
saya yang jelas-jelas telah berzina, bergonta-ganti pacar dan akhirnya
menghamili pacarnya yang entah yang keberapa di luar akad nikah malah
direstui dan diberi fasilitas maha besar? Dengan enteng ayah menjawab.
"Karena kamu memilih pasangan hidup dari strata yang salah dan akan
menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacar adik kamu yang hamil itu
anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga besar Al Ganzouri."
Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah
saya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat
sudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun
yang jelas berzina justru difasilitasi.
Dengan menyebut asma
Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup saya. Saya ingin
buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan pasangan bercinta pilihan saya
adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain menikah dan hidup
baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini kebenarannya. Itu
saja.
Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya
temui ayahnya. Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya
terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rencana saya.
Namun, la haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap
beliau setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak
mentah-mentah untuk mengawinkan putrinya dengan saya. Ternyata beliau
menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya
sebagai anak jika tetap nekad menikah dengan saya.
Kami berdua
bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak pernikahan ini
terjadi karena alasan status sosial , sedangkan keluarga dia menolak
karena alasan membela kehormatan. Berhari-hari saya dan dia hidup
berlinang air mata, beratap dan bertanya kenapa orang-orang itu tidak
memiliki kesejukan cinta?
Setelah berpikir panjang, akhirnya
saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Suatu hari saya ajak
gadis yang saya cintai itu ke kantor ma'dzun syari (petugas pencatat
nikah) disertai 3 orang sahabat karibku. Kami berikan identitas kami dan
kami minta ma'dzun untuk melaksanakan akad nikah kami secara syari'ah
mengikuti mahzab imam Hanafi. Ketika Ma'dzun menuntun saya, "Mamduh,
ucapkanlah kalimat ini: Saya terima nikah kamu sesuai dengan sunatullah
wa rasulih dan dengan mahar yang kita sepakati bersama serta dengan
memakai mahzab Imam Abu Hanifah."
Seketika itu bercucuranlah
air mata saya, air mata dia dan air mata 3 sahabat saya yang tahu persis
detail perjalanan menuju akad nikah itu. Kami keluar dari kantor itu
resmi menjadi suami-isteri yang sah di mata Allah SWT dan manusia. Saya
bisikkan ke istri saya agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya
penderitaan ini belum berakhir. Seperti yang saya duga, penderitaan itu
belum berakhir, akad nikah kami membuat murka keluarga. Prahara
kehidupan menanti di depan mata. Begitu mencium pernikahan kami, saya
diusir oleh ayah dari rumah. Mobil dan segala fasilitas yang ada disita.
Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali tas kumal berisi
beberapa potong pakaian dan uang sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang
yang saya miliki sehabis membayar ongkos akad nikah di kantor ma'dzun.
Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih
tragis lagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak 2
pound, tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!
Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua bertemu
di jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat
pada puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan
sengsara campur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang
berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih
sayang , rasa berdaya dan hidup menjalari sukma kami.
"Istriku, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini. Maafkan Kanda!"
"Tidak... Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita
telah berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak
bisa menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak
kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan
mereka salah. Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini.
Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama kanda
tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan buktikan
kepada mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta
kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita
dan kita berikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru.
Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita
kita saat ini," jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.
Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah
rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika.
Apalagi teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi
dokter. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan
menerima penghargaan dan uang sebanyak 40 pound.
Malam semakin
melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk diemperan toko
berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan, otak
kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di
emperan toko itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisa uang 6 pound
itu kami masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam.
Saya
berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50
pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yang
murah. Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan
kembali bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus
mengarunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih
sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.
Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasil
menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagi
kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya
adalah untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang
kesayangan mereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami. Namun
bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jika
seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagai
mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedang
membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan
uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja
untuk 3 bulan.
Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami
pindah kesana. Lalu kami pergi membeli perkakas rumah untuk pertama
kalinya.Tak lebih dari sebuah kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu
meja kayu kecil, dua kursi dan satu kompor gas sederhana sekali, kipas
dan dua cangkir dari tanah, itu saja... tak lebih.
Dalam hidup
bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa tetap bahagia,
karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi
pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta?
Hidup bahagia
adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia
merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta.
Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya
persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah
untuk memberikan gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di
surga. Jika percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih
nikmat dari semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan.Yang
paling nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni
surga , saat Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni
surga berhak menikmati indahnya wajah Allah SWT.
Untuk nikmat
cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur'an dan Sunnah
Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak
memperoleh segala cinta di surga. Melalui penghayatan cinta ini, kami
menemukan jalan-jalan lurus mendekatkan diri kepada-Nya. Istri saya jadi
rajin membaca Al-Qur'an, lalu memakai jilbab, dan tiada putus shalat
malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi'ah Adawiyah yang larut
dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang ia adalah dokter
yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang
berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk hidup berdua
tanpa bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia juga wanita yang pandai
mengatur keuangan. Uang sewa sebanyak 25 poud yang tersisa setelah
membayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama sebulan.
Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan
kamipun mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan
derita hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada
yang bilang tanpa disengaja,"Ah, kami kira para dokter itu pasti kaya
semua, ternyata ada juga yang melarat sengsara seperti Mamduh dan
isterinya." Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak
mengurangi nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan
bantuan-bantuan kecil layaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan
kepada isteri agar menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka
karena kami memang dokter yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan
dokter.Ada yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan
pertolongan-pertolongan mereka.
Kehangatan tetangga itu
seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga
kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk
mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkan mereka tidak
membiarkan kami hidup tenang.
Suatu malam, ketika kami sedang
tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor dan didobrak oleh 4 bajingan
kiriman ayah saya. Mereka merusak segala perkakas yang ada. Meja kayu
satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitu juga dengan kursi. Kasur
tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam dan
memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan ancaman,
"Kalian tak akan hidup tenang, karena berani menentang Tuan Pasha."
Yang mereka maksudkan dengan Tuan "Pasha" adalah ayah saya yang kala
itu pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat bajingan itu pergi. Kami
berdua berpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan membangun
kekuatan. Lalu kami tata kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi
kapas-kapas yang berserakan, kami masukan lagi ke dalam kasur dan kami
jahit kasur yang sobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku
yang berantakan. Meja dan kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki.
Lalu kami tertidur kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah
eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang
meringankan intimidasi hidup ini.
Benar, firasat saya
mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup tenang. Saya mendapat
kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancang skenario keji untuk
memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tuna susila. Semua orang
juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini. Mereka berhak
melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapak kaki mereka.
Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.
Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak
mengurungkan niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku
berhasil memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya
agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak
menjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan
saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.
Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil meminta
beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai
isteriku.Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai
ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya.Sementara saya bisa
mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.
Beberapa bulan
setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu tahun penuh saya
menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidak ada
pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan. Dan
saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai. Nyaris
selama 1 tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan
isteri tercinta.
Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang
menjaga keselamatan hamba-hamba- Nya yang beriman. Isteri saya hidup
selamat bahkan dia mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik
kesehatan dekat rumah kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup
berkecukupan dengan rahmat Allah SWT.
Selesai wajib militer,
saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepada kekasih hati. Saat
itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya tatap
matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya
reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair Palestina
yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia & lepas dari
belenggu derita:
Sambil menatap kaki langit
Kukatakan kepadanya
Di sana... di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba
Bukan karna ketiadaan kata-kata
Tapi karena kupu-kupu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku... besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung
Yah... saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari
nestapa dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta. Namun
dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras untuk masuk
program Magister bersama!
"Gila... ide gila!!!" pikirku saat
itu. Bagaimana tidak...ini adalah saat paling tepat untuk pergi
meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai dokter di negara Teluk,
demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidak berperasaan. Tetapi istri
saya tetap bersikukuh untuk meraih gelar Magister dan menjawab logika
yang saya tolak:
"Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan
kita dan mendapat tawaran dari Fakultas sehingga akan mendapatkan
keringanan biaya, kita harus sabar sebentar menahan derita untuk meraih
keabadian cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita,
kenapa tidak sekalian kita rengguk sum-sum penderitaan ini. Kita
sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita wujudkan mimpi indah kita."
Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau
ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku pun
luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan
kekuatan jiwanya.
Jadilah kami berdua masuk Program Magister.
Dan mulailah kami memasuki hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan
pas-pasan, sementara kebutuhan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk
praktek, buku, dll. Nyaris kami hidup laksana kaum Sufi, makan hanya
dengan roti dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari
hari-hari awal pernikahan kami. Malam hari kami lalui bersama dengan
perut kosong, teman setia kami adalah air keran.
Masih terekam
dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalam suatu malam
sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obati dengan air.
Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untuk beli buku
kami ambil untuk pengganjal perut. Siang hari, jangan tanya... kami
terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu, terjelmalah kebiasaan dan
keikhlasan.
Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia.
Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya
melihat istri saya mengeluh, menangis dan sedih ataupun marah karena
suatu sebab. Kalaupun dia menangis, itu bukan karena menyesali nasibnya,
tetapi dia malah lebih kasihan kepada saya. Dia kasihan melihat keadaan
saya yang asalnya terbiasa hidup mewah, tiba-tiba harus hidup sengsara
layaknya gelandangan.
Sebaliknya, sayapun merasa kasihan
melihat keadaannya, dia yang asalnya hidup nyaman dengan keluarganya,
harus hidup menderita di rumah kontrakan yang kumuh dan makan ala
kadarnya.
Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana
mawaddah yang luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi
melukiskan rasa sayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.
Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya
adalah wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya
dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia
akan mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta
dengan senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan
semua. Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia didunia ini.
"Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang..."bisiknya mesra
sambil tersenyum. Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.
Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar
Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja! Namun,
kami belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister pun kami
masih hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada istilah makan
enak dalam hidup kami.
Sampai akhirnya rahmat Allah datang
juga. Setelah usaha keras, kami berhasil meneken kontrak kerja di sebuah
rumah sakit di Kuwait. Dan untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun
berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami
hidup di rumah yang mewah, merasakan kembali tidur di kasur empuk dan
kembali mengenal masakan lezat.
Dua tahun setelah itu, kami
dapat membeli villa berlantai dua diHeliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya
rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang layak. Tetapi
istriku memang 'edan'. Ia kembali mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk
melanjutkan program Doktor Spesialis di London, juga dengan logika yang
sulit saya tolak: "Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita
telah kita lalui, dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk
mengambil gelar Doktor di London. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong
kumuh, tak ada salahnya kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi
sambil merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah
menyediakan dana tambahan."
Kucium kening istriku, dan
bismillah... kami berangkat ke London. Singkatnya, dengan rahmat Allah,
kami berdua berhasil menggondol gelar Doktor dari London. Saya spesialis
syaraf dan istri saya spesialis jantung.
Setelah memperoleh
gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak kerja baru di Kuwait dengan
gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai direktur rumah
sakit, dan istri saya sebagai wakilnya! Kami juga mengajar di
Universitas.
Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan
cerdas. Saya namai dia dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang
menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.
Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah sebelumnya
menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana raja dan
permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup
bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari 9 tahun hidup
menderita, melarat dan sengsara.
Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah swt dan bertambahlan rasa cinta kami.
Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika hadirin
sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan mencurahkan
cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai
saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru
yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat di sebelah kiri artis
berjilbab Huda Sulthan. Dialah istri saya tercinta yang mengajarkan
bahwa penderitaan bisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti
Abdul Aziz..."
Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera
video menyorot sosok perempuan separoh baya yang tampak anggun dengan
jilbab biru. Perempuan itu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera
juga merekam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru
kedua mempelai, dan segenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan
seksama.