Diriwayatkan dari Al Miqdam ra. : Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “tidak ada makanan yang lebih baik bagi seseorang kecuali makanan yang ia peroleh dari uang hasil keringatnya sendiri. Nabi Allah, Daud as. , makan dari hasil kerjanya sendiri”
Aku jadi teringat masa-masa seusai lulus kuliah dahulu. Bekerja sebagai profesional IT, membuatku bangga dan bersyukur, karena mampu mengamalkan ilmu yang kumiliki. Ini juga sekaligus wujud bakti kepada orang tua yang sudah susah payah menguliahkanku, selain perwujudan tanggung jawab terhadap anak dan istri. Pagi, ketika matahari baru saja menggeliat muncul di timur, aku sudah berangkat. Malam hari, ketika matahari telah lama terbenam, aku baru pulang. Semangat pembuktian diri begitu menggebu-gebu. Pembuktian bahwa ilmu yang kumiliki tidaklah sia-sia, bahwa diriku adalah orang yang berguna bagi orang lain.
Dan bukankah ada janji pahala ibadah bagi orang yang berpayah-payah mencari nafkah? Lengkaplah sudah.
Namun benarkah semua seindah kelihatannya?
Meski ini adalah kejadian bertahun-tahun yang lalu, namun masih segar dalam ingatanku, ketika aku lebih sering tidak sholat shubuh di Masjid karena kesiangan. Pulang kerja sudah larut malam. Sangat letih. Letih secara fisik, letih pula pikiran karena berbagai urusan kantor.
Jangankan untuk bangun malam untuk qiyamul Lail, bangun tatkala adzan shubuh berkumandang pun sudah merupakan prestasi. Tapi dalih masih bisa dicari.
Toh aku lelah bekerja untuk mencari nafkah? Bukankah mencari nafkah adalah ibadah?
Sholat-sholat lain pun tidak bisa di awal waktu. Jangankan sunnah dhuha, untuk bisa berjamaah on time di Masjid pun seringkali tak bisa kulakukan. Pekerjaan yang kubanggakan menjadi prioritas utama. Sholat masih bisa belakangan, dengan alasan pekerjaan yang kulakukan berkaitan dengan kepentingan orang banyak.
Tentu Allah bisa maklum kan? Demikian pikirku secara keterlaluan.
Posisi dan gajiku memang melesat cepat. Namun jelas ada harga yang tak sebanding yang harus kubayar. Uang banyak ternyata tak mampu menenangkan hatiku. Pengajian-pengajian yang kuikuti seakan tertelan air laut yang asin, kadang semakin jarang dan menambah parah ritme ibadah yang tidak karuan. Silaturahim semakin jarang. Pekerjaan ternyata telah menjadi Tuhan baru, menggantikan Allah Yang Maha Memberi rizki.
Bagaimana mungkin kita dapat berbahagia dengan kehidupan yang berfokus pada kerja, kantor, kerja, kantor dan seterusnya?
Kicau burung yang riang gembira menyambut pagi tak berarti apa-apa bagiku yang harus memburu waktu. Tenggelamnya matahari senja, yang sebenarnya kunikmati dari pelataran musholla, tak pernah bisa kusaksikan. Bahkan tawa canda riang bersama anak-anak hanya seminggu sekali dapat kulalui. Itu pun diiringi dengan bayang-bayang keletihan. Allah seperti mengingatkanku bahwa aku telah terjerat dalam perangkap yang kubuat sendiri.
Akhirnya aku menyadari bahwa tidak semua orang boleh atau berhak mengatatakan bahwa kerja adalah ibadah. Bagaimana mungkin disebut ibadah, jika membuat kita semakin tidak mengenalNya dan mensyukuri segala anugerahNya?
Bagaimana bisa bernilai ibadah, jika justru menghasilkan kegelisahan dan ketidakberkahan dalam hidup? Bagaimanalah kerja itu bisa dianggap ibadah jika justru saat-saat sholat fardhu kita hanya menggelar sajadah sekenanya, di sela-sela kaki kursi dan meja, karena tak bisa berpisah jauh dari komputer kerja kita? Kita tak mampu merasakan kehadiranNya bahkan saat kita tengah beribadah mahdhoh di hadapanNya!
Mungkin waktu itu aku salah memaknai doa: ”Ya Allah berilah aku kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat …”
Karena sejatinya indikasi kebaikan – hasanaat – adalah ketika dibukanya pintu-pintu ketaatan. Ketika kita dimudahkan untuk berkomunikasi mesra denganNya. Ketika tibanya waktu-waktu sholat kita sambut dengan semangat, tidak dengan malas-malasan. Indikasi hasanaat bukanlah pada capaian-capaian duniawi apapun bentuknya, selama ia tidak mendekatkan hubungan kita dengan Sang Pemberi Kebaikan.
Lalu, apakah kemudian kerja menjadi tidak berarti.
Ah, tentu bukan itu pointnya. Pointnya adalah yang utama bagi kita menjaga hubungan dengan Allah. Meski Ia adalah dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher kita sendiri, namun belum tentu kita merasa dekat denganNya.
Bahkan belum tentu pula Ia menganggap kita adalah orang-orang yang dianggap memiliki kedekatan khusus denganNya.
Dengan kedekatan tersebut, dalam segala aspek kehidupan kita, yang kemudian kita minta adalah petunjukNya. Dalam bekerja misalnya, kita mulai dengan meminta agar Ia memudahkan urusan kita. Bukankah doa-doa yang Rasulullah ajarkan menunjukkan bahwa kita perlu selalu meminta kemudahan dalam berbagai urusan?
Dengan demikian, segala ikhtiar yang kita lakukan merupakan ikhtiar yang terilhami, karena kebersamaan kita denganNya. Mudah-mudahan dengan demikian Ia pun akan memudahkan kita dalam bekerja dan berbagai urusan. Sehingga – misalnya – waktu prime time sholat lima waktu untuk audiensi denganNya dapat kita penuhi dengan lapang.
Setelah itu, barulah agaknya kita bisa mencoba mengatakan kembali, meski tetap dengan hati-hati, ”ya, kerja saya bernilai ibadah, insya Allah”.
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, rahmat dari sisi-Mu. Dengan rahmat-Mu Engkau menerangi hatiku. Dengan rahmat-Mu Engkau mengumpulkan dan memudahkan urusanku. Dengan rahmat-Mu Engkau balikkan sesuatu yang tiada dariku. Dengan rahmat-Mu Engkau Angkat kesaksianku. Dengan rahmat-Mu Engkau sucikan amalku. Dengan rahmat-Mu Engkau ilhamkan kedewasaanku. Dengan rahmat-Mu Engkau kembalikan sesuatu yang hilang dariku. Dengan rahmat-Mu Engkau jaga aku dari segala keburukan.” (lihat Ar Rasul, karya Said Hawwa)
sabruljamil