Syaikh
Wahbah Az Zuhaili, penulis
Tafsir Al Munir dan kitab
Fiqhul Islami wa Adilatuhu, dalam kitab beliau yang berjudul
Al Bida’ Al Munkarah, menjelaskan mengenai kedudukan memperingati Maulid Nabi dan hari-hari tertentu lainnya:
“Jika Maulid Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam terbatas hanya sekedar tilawatul Quran, mengingatkan Sunnah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, sejarah Islam dan pengorbanan para Salaf Shalih, maka hal itu tak mengapa, karena di dalamnya terhadap kebaikan dan motivasi untuk mengikuti jalan kebaikan dan akhlak mulia Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya.
Hal itu tidak dianggap sebagai sunnah yang mendatangkan pahala, melainkan seperti halnya pengajian atau ceramah ilmiah.
Adapun jika Maulid diadakan untuk bernasyid ria dengan menebah rebana dan berlebih-lebihan dalam menyifati sifat manusia, maka hal itu tak ada faedahnya.
Dalam hal Maulid ini para ulama memiliki dua pandangan.
- Pertama, mengatakan bahwa Maulid itu bid’ah yang tercela.
- Kedua, mengatakan bahwa Maulid mubah dan baik meskipun mereka mengakui bahwa di zaman Nabi maupun setelahnya kegiatan Maulid belum pernah diadakan. Hal itu tak lain merupakan adat Fathimiyyin (Dinasti Fathimiyah).
Dalil kelompok pertama, yaitu bahwa Maulid adalah perkara baru yang diada-adakan (muhdats) dan belum pernah diadakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Di dalamnya juga terdapat ikhtilath antara laki-laki dengan perempuan, dan juga menghambur-hamburkan harta, banyak kegaduhan, berlagu-lagu dengan Quran dan sahut-sahutan suara para penyanyi, bergadang sampai malam, dan melalaikan kewajiban.
Adapun dalil kelompok kedua, meskipun mereka mengakui bahwa Maulid adalah acara yang dibuat-buat, akan tetapi di situ terdapat kebaikan dan manfaat bimbingan, pembinaan wawasan dan pendidikan akhlak. Sama halnya dengan disunnahkannya puasa hari Asyura (10 Muharram) sebagai wujud rasa syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas nikmat keselamatan yang telah diberikan kepada Nabi Musa ‘Alaihis Salam dan kaumnya dari tenggelam di laut.
Demikian pula dengan puasa Senin berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, “Di hari itu aku dilahirkan, diutus dan diturunkan kepadaku (Quran)”. (HR. Ahmad dan Muslim)
Tampak jelas dari sini bahwa celaan dan larangan terhadap Maulid ditujukan kepada efek samping yang menyertai acara Maulid itu sendiri, yaitu segala sesuatu yang dilarang agama. Oleh karena itu, ia menjadi acara bid’ah. Seorang Muslim yang ikhlas dan sadar akan mengatakan hal ini juga. Adapun istihsan yang dikatakan oleh kelompok kedua, ditujukan kepada faedah-faedah yang diambil dari diadakannya acara Maulid, dengan syarat acara tersebut terbebas dari hal-hal yang dilarang sebagaimana disebutkan di atas oleh kelompok pertama. Sehingga acara ini menjadi diperbolehkan dalam rangka mendengarkan ceramah-ceramah keagamaan, mengingat-ingat budi pekerti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berdasarkan firman Allah yang artinya, “Dang ingatkanlah mereka tentang hari-hari Allah” (QS. Ibrahim: 5), yaitu kejadian-kejadian dan nikmat-nikmat atau mengingat-ingat akhlak Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Dalam keadaan seperti itu, maka acara peringatan Maulid tidak menjadi bid’ah, dan orang yang menghadiri atau melakukannya tidak dikafirkan karenanya, dengan syarat acara Maulid tersebut terbebas dari pukulan rebana, kendang dan sebagainya, telebih di masjid-masjid. Hal itu dilarang secara syar’i. Sama seperti halnya acara pekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pada tahun 1399 H/1978 M yang diadakan di Universitas Islam Muhammad bin Su’ud di Riyadh.
Adapun peringatan-peringatan lainnya seperti Hijrah (permulaan tahun Hijriyah), Isra Mi’raj pada 27 Rajab, Lailatul Qadr pada 27 Ramadhan, Nisfu Sya’ban, Ihyaul Lail (menghidupkan suasana malam) secara total, Ihya Lailatil ‘Ied, maka semua itu tidak lain adalah perkara baru yang diada-adakan (mustahdatsah) yang tidak ada tuntunannya (sunnahnya).
Begitu juga dengan puasa yang dilakukan pada hari-hari tersebut selain Ramadhan, termasukmustahdastah juga, jika tidak terdapat perintah atau anjurannya dalam sunnah.
Pelarangan acara semacam itu merupakan wewenang penguasa (pemerintah) dalam hal-hal yang diperbolehkan (mubah) serta mengikuti adat-istiadat (‘urf), supaya acara semacam itu tidak sampai dianggap sebagai amalan yang mulia yang mendatangkan pahala, atau bentuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lain halnya dengan keutamaan dua Hari Raya yang disyariatkan dalam Islam, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.”