Alhamdulillah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Setelah pada serial pertama kita membahas hukum dan sebab adanya sujud sahwi, saat ini kita
akan
melanjutkan dengan pembahasan tata cara sujud sahwi. Kami harapkan para
pembaca rumaysho.com dapat membaca serial pertama mengenai sujud sahwi
–jika belum sempat membacanya- agar lebih memahami pembahasan kali ini
dan selanjutnya. Semoga Allah beri kepahaman.
Sujud Sahwi Sebelum ataukah Sesudah Salam?
Shidiq Hasan Khon rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tegas yang
menjelaskan mengenai sujud sahwi kadang menyebutkan bahwa sujud sahwi
terletak sebelum salam dan kadang pula sesudah salam. Hal ini
menunjukkan bahwa boleh melakukan sujud sahwi sebelum ataukah sesudah
salam. Akan tetapi lebih bagus jika sujud sahwi ini mengikuti cara yang
telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ada
dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sebelum salam, maka
hendaklah dilakukan sebelum salam. Begitu pula jika ada dalil yang
menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sesudah salam, maka hendaklah
dilakukan sesudah salam. Selain hal ini, maka di situ ada pilihan. Akan
tetapi, memilih sujud sahwi sebelum atau sesudah salam itu hanya sunnah
(tidak sampai wajib, pen).”[1]
Intinya, jika shalatnya perlu
ditambal karena ada kekurangan, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan
sebelum salam. Sedangkan jika shalatnya sudah pas atau berlebih, maka
hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam dengan tujuan untuk
menghinakan setan.
Adapun penjelasan mengenai letak sujud sahwi sebelum ataukah sesudah salam dapat dilihat pada rincian berikut.
1.> Jika terdapat kekurangan pada shalat –seperti kekurangan
tasyahud awwal-, ini berarti kekurangan tadi butuh ditambal, maka
menutupinya tentu saja dengan sujud sahwi sebelum salam untuk
menyempurnakan shalat. Karena jika seseorang sudah mengucapkan salam,
berarti ia sudah selesai dari shalat.
2.> Jika terdapat
kelebihan dalam shalat –seperti terdapat penambahan satu raka’aat-, maka
hendaklah sujud sahwi dilakukan sesudah salam. Karena sujud sahwi
ketika itu untuk menghinakan setan.
3.> Jika seseorang
terlanjur salam, namun ternyata masih memiliki kekurangan raka’at, maka
hendaklah ia menyempurnakan kekurangan raka’at tadi. Pada saat ini,
sujud sahwinya adalah sesudah salam dengan tujuan untuk menghinakan
setan.
4.> Jika terdapat keragu-raguan dalam shalat, lalu ia
mengingatnya dan bisa memilih yang yakin, maka hendaklah ia sujud sahwi
sesudah salam untuk menghinakan setan.
5.> Jika terdapat
keragu-raguan dalam shalat, lalu tidak nampak baginya keadaan yang
yakin. Semisal ia ragu apakah shalatnya empat atau lima raka’at. Jika
ternyata shalatnya benar lima raka’at, maka tambahan sujud tadi untuk
menggenapkan shalatnya tersebut. Jadi seakan-akan ia shalat enam
raka’at, bukan lima raka’at. Pada saat ini sujud sahwinya adalah sebelum
salam karena shalatnya ketika itu seakan-akan perlu ditambal disebabkan
masih ada yang kurang yaitu yang belum ia yakini.
Tata Cara Sujud Sahwi
Sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa hadits bahwa sujud sahwi
dilakukan dengan dua kali sujud di akhir shalat –sebelum atau sesudah
salam-. Ketika ingin sujud disyariatkan untuk mengucapkan takbir “Allahu
akbar”, begitu pula ketika ingin bangkit dari sujud disyariatkan untuk
bertakbir.
Contoh cara melakukan sujud sahwi sebelum salam dijelaskan dalam hadits ‘Abdullah bin Buhainah,
فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
“Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali. Ketika
itu beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau
lakukan sujud sahwi ini sebelum salam.” (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim
no. 570)
Contoh cara melakukan sujud sahwi sesudah salam dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah,
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ
“Lalu beliau shalat dua rakaat lagi (yang tertinggal), kemudia beliau
salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir
lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud
kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR.
Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)
Sujud sahwi sesudah salam ini ditutup lagi dengan salam sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Imron bin Hushain,
فَصَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ.
“Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang kurang
tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi
dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (HR. Muslim no. 574)
Apakah ada takbiratul ihrom sebelum sujud sahwi?
Sujud sahwi sesudah salam tidak perlu diawali dengan takbiratul ihrom,
cukup dengan takbir untuk sujud saja. Pendapat ini adalah pendapat
mayoritas ulama. Landasan mengenai hal ini adalah hadits-hadits mengenai
sujud sahwi yang telah lewat.
Ibnu Hajar Al Asqolani
rahimahullah berkata, “Para ulama berselisih pendapat mengenai sujud
sahwi sesudah salam apakah disyaratkan takbiratul ihram ataukah cukup
dengan takbir untuk sujud? Mayoritas ulama mengatakan cukup dengan
takbir untuk sujud. Inilah pendapat yang nampak kuat dari berbagai
dalil.”[2]
Apakah perlu tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi?
Pendapat yang terkuat di antara pendapat ulama yang ada, tidak perlu
untuk tasyahud lagi setelah sujud kedua dari sujud sahwi karena tidak
ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan hal
ini. Adapun dalil yang biasa jadi pegangan bagi yang berpendapat adanya,
dalilnya adalah dalil-dalil yang lemah.
Jadi cukup ketika
melakukan sujud sahwi, bertakbir untuk sujud pertama, lalu sujud.
Kemudian bertakbir lagi untuk bangkit dari sujud pertama dan duduk
sebagaimana duduk antara dua sujud (duduk iftirosy). Setelah itu
bertakbir dan sujud kembali. Lalu bertakbir kembali, kemudian duduk
tawaruk. Setelah itu salam, tanpa tasyahud lagi sebelumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada dalil
sama sekali yang mendukung pendapat ulama yang memerintahkan untuk
tasyahud setelah sujud kedua dari sujud sahwi. Tidak ada satu pun hadits
shahih yang membicarakan hal ini. Jika memang hal ini disyariatkan,
maka tentu saja hal ini akan dihafal dan dikuasai oleh para sahabat yang
membicarakan tentang sujud sahwi. Karena kadar lamanya tasyahud itu
hampir sama lamanya dua sujud bahkan bisa lebih. Jika memang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tasyahud ketika itu, maka tentu
para sahabat akan lebih mengetahuinya daripada mengetahui perkara salam,
takbir ketika akan sujud dan ketika akan bangkit dalam sujud sahwi.
Semua-semua ini perkara ringan dibanding tasyahud.”[3]
Do’a Ketika Sujud Sahwi
Sebagian ulama menganjurkan do’a ini ketika sujud sahwi,
سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو
“Subhana man laa yanaamu wa laa yas-huw” (Maha Suci Dzat yang tidak mungkin tidur dan lupa).[4]
Namun dzikir sujud sahwi di atas cuma anjuran saja dari sebagian ulama
dan tanpa didukung oleh dalil. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
قَوْلُهُ : سَمِعْت بَعْضَ الْأَئِمَّةِ يَحْكِي أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ أَنْ
يَقُولَ فِيهِمَا : سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو - أَيْ فِي
سَجْدَتَيْ السَّهْوِ - قُلْت : لَمْ أَجِدْ لَهُ أَصْلًا .
“Perkataan beliau, “Aku telah mendengar sebagian ulama yang menceritakan
tentang dianjurkannya bacaan: “Subhaana man laa yanaamu wa laa yas-huw”
ketika sujud sahwi (pada kedua sujudnya), maka aku katakan, “Aku tidak
mendapatkan asalnya sama sekali.” (At Talkhis Al Habiir, 2/6)
Sehingga yang tepat mengenai bacaan ketika sujud sahwi adalah seperti
bacaan sujud biasa ketika shalat. Bacaannya yang bisa dipraktekkan
seperti,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi][5]
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى
“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha
Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu,
ampunilah dosa-dosaku][6]
Dalam Mughnil Muhtaj –salah satu
kitab fiqih Syafi’iyah- disebutkan, “Tata cara sujud sahwi sama seperti
sujud ketika shalat dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti
meletakkan dahi, thuma’ninah (bersikap tenang), menahan sujud,
menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy[7] ketika duduk antara dua
sujud sahwi, duduk tawarruk[8] ketika selesai dari melakukan sujud
sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti
dzikir sujud dalam shalat.”
Sebagaimana pula diterangkan dalam
fatwa Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) ketika ditanya,
“Bagaimanakah kami melakukan sujud sahwi?”
Para ulama yang
duduk di Al Lajnah Ad Daimah menjawab, “Sujud sahwi dilakukan dengan dua
kali sujud setelah tasyahud akhir sebelum salam, dilakukan sebagaimana
sujud dalam shalat. Dzikir dan do’a yang dibaca ketika itu adalah
seperti ketika dalam shalat. Kecuali jika sujud sahwinya terdapat
kekurangan satu raka’at atau lebih, maka ketika itu, sujud sahwinya
sesudah salam. Demikian pula jika orang yang shalat memilih keraguan
yang ia yakin lebih kuat,maka yang afdhol baginya adalah sujud sahwi
sesudah salam. Hal ini berlandaskan berbagai hadits shahih yang
membicarakan sujud sahwi. Wabillahit taufiq, wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.”[9]
Jika Lupa Melakukan Sujud Sahwi, Apakah Shalatnya Mesti Diulangi?
Mengenai masalah ini kita dapat bagi menjadi dua keadaan:
Keadaan pertama: Jika sujud sahwi yang ditinggalkan sudah lama waktunya, namun wudhunya belum batal.
Dalam keadaan seperti ini –menurut pendapat yang lebih kuat- selama
wudhunya masih ada, maka shalatnya tadi masih tetap teranggap dan ia
melakukan sujud sahwi ketika ia ingat meskipun waktunya sudah lama.
Inilah pendapat Imam Malik, pendapat yang terdahulu dari Imam Asy
Syafi’i, Yahya bin Sa’id Al Anshori, Al Laits, Al Auza’i, Ibnu Hazm dan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[10].[11]
Di antara alasan pendapat di atas adalah:
Pertama: Karena jika kita mengatakan bahwa kalau sudah lama ia
meninggalkan sujud sahwi, maka ini sebenarnya sulit dijadikan standar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah dalam lupa sehingga
hanya mengerjakan dua atau tiga raka’at, setelah itu malah beliau
ngobrol-ngobrol, lalu keluar dari masjid, terus masuk ke dalam rumah.
Lalu setelah itu ada yang mengingatkan. Lantas beliau pun mengerjakan
raka’at yang kurang tadi. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi. Ini
menunjukkan bahwa beliau melakukan sujud sahwi dalam waktu yang lama.
Artinya waktu yang lama tidak bisa dijadikan.
Kedua: Orang yang
lupa –selama wudhunya masih ada- diperintahkan untuk menyempurnakan
shalatnya dan diperintahkan untuk sujud sahwi. Meskipun lama waktunya,
sujud sahwi tetap diwajibkan. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa yang lupa mengerjakan shalat atau ketiduran, maka
kafarohnya (penebusnya) adalah hendaklah ia shalat ketika ia ingat.”
(HR. Muslim no. 684)
Keadaan kedua: Jika sujud sahwinya ditinggalkan dan wudhunya batal.
Untuk keadaan kedua ini berarti shalatnya batal hal ini berdasarkan
kesepakatan para ulama. Orang seperti berarti harus mengulangi
shalatnya. Kecuali jika sujud sahwi yang ditinggalkan adalah sujud sahwi
sesudah salam dikarenakan kelebihan mengerjakan raka’at, maka ia boleh
melaksanakan sujud sahwi setelah ia berwudhu kembali. [12]
Jika Lupa Berulang Kali dalam Shalat
Jika seseorang lupa berulang kali dalam shalat, apakah ia harus
berulang kali melakukan sujud sahwi? Jawabannya, hal ini tidak
diperlukan.
Ulama Syafi’iyah, ‘Abdul Karim Ar Rofi’i
rahimahullah mengatakan, “Jika lupa berulang kali dalam shalat, maka
cukup dengan sujud sahwi (dua kali sujud) di akhir shalat.”[13]
Sujud Sahwi Ketika Shalat Sunnah
Sujud sahwi ketika shalat sunnah sama halnya dengan shalat wajib, yaitu
sama-sama disyari’atkan. Karena dalam hadits yang membicarakan sujud
sahwi menyebutkan umumnya shalat, tidak membatasi pada shalat wajib
saja.
Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Sebagaimana dikatakan dalam hadits ‘Abdurrahman bin ‘Auf,
إذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ
“Jika salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam shalatnya.” Hadits
ini menunjukkan bahwa sujud sahwi itu disyariatkan pula dalam shalat
sunnah sebagaimana disyariatkan dalam shalat wajib (karena lafazh dalam
hadits ini umum). Inilah yang dipilih oleh jumhur (mayoritas) ulama yang
dulu dan sekarang. Karena untuk menambal kekurangan dalam shalat dan
untuk menghinakan setan juga terdapat dalam shalat sunnah sebagaimana
terdapat dalam shalat wajib.”[14]
Semoga sajian ini bermanfaat bagi pembaca setian rumaysho.com sekalian.
Insya Allah pembahasan kali ini masih kami lanjutkan dengan hukum sujud
sahwi dalam shalat jama’ah. Harap sabar menanti. Semoga Allah selalu
memberkahi dalam ilmu dan amal.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Sumber : rumaysho.com
Diselesaikan di Panggang-GK, 23 Jumadits Tsani 1431 H (05/06/2010)
Al Faqir Ilallalh: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Ar Roudhotun Nadiyyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, 1/182, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 3/99, Darul Ma’rifah, 1379.
[3] Dialihbahasakan secara bebas dari Majmu’ Al Fatawa, 23/49.
[4] Bacaan sujud sahwi semacam ini di antaranya disebutkan oleh An
Nawawi rahimahullah dalam Roudhotuth Tholibiin, 1/116, Mawqi’ Al Waroq.
[5] HR. Muslim no. 772
[6] HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484
[7] Duduk iftirosy adalah keadaan duduk seperti ketika tasyahud awwal,
yaitu kaki kanan ditegakkan, sedangkan kaki kiri diduduki pantat.
[8] Duduk tawaruk adalah duduk seperti tasyahud akhir, yaitu kaki kanan
ditegakkan sedangkan kaki kiri berada di bawah kaki kanan.
[9]
Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin
Baz sebagai ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; dan
Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah
lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ soal ketujuh, fatwa no. 8540, 7/129.
[10] Namun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengkhususkan jika memang sujud
sahwinya terletak sesudah salam, inilah yang beliau bolehkan. Lihat
Majmu’ Al Fatawa, 23/32.
[11] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/466.
[12] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/466.
[13] Fathul ‘Aziz Syarh Al Wajiz, Abul Qosim Abdul Karim bin Muhammad Ar Rofi’i, 4/172, Darul Fikr
[14] Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 3/144, Idarotuth Thoba’ah Al Muniirah.