Kadang kita menggunakan istilah-istilah yang dipahami secara khusus dalam Islam, dengan cara yang keliru. Dan yang paling sering disalahpahami adalah: ikhlas, sombong, buruk sangka.
Kita sering menggunakan kata ikhlas untuk menggantikan kata 'tulus', sehingga ikhlas dipahami tanpa pamrih, tidak mengharapkan apapun, bahkan tidak mengharapkan surga atau pahala dari Allah, Sehingga orang yang mengharapkan pahala dan surga atau orang yang takut dosa dan neraka, seringkali kita anggap tidak ikhlas.
Ikhlas artinya hanya mengharap sesuatu dari sisi Allah. Dan sesuatu yang dari sisi Allah itu bermacam-macam: pahala, balasan yang baik di dunia, surga, terhindar dari dosa dan neraka, terhindar dari keburukan, semuanya dari sisi Allah. Tidak masalah (bahkan memang sepantasnya) kita mengharapkan itu dari Allah atas amal-amal kita.
Kita juga sering menggunakan kata sombong tidak pada tempatnya. Orang yang tidak menyahut saat dipanggil kita anggap sombong. Orang yang sedang menjelaskan sesuatu dan argumennya kokoh tak terbantah, kita anggap sombong dan merasa benar sendiri.
Sombong artinya menolak kebenaran dan merendahkan makhluq. Bukan orang yang menyampaikan kebenaran dengan argumen tak terbantahkan. Itu bukan sombong, itu memang sepantasnya kita lakukan manakala ada kebenaran yang harusnya disampaikan.
Kita juga sering menggunakan kata buruk sangka tidak pada tempatnya. Misalnya, ada seorang laki-laki berwajah garang, dengan lengan penuh tato, dan tangan kanannya memegang sebilah golok, datang ke rumah kita pada waktu tengah malam, dengan menggedor pintu sambil teriak "Buka! Buka!!" Jika sudah begitu, kalau kita berwaspada dari perbuatan buruknya (dalam kasus ini, merampok), apakah kita terkategori buruk sangka?
Semestinya, kita menggunakan istilah-istilah tersebut dalam konteks dan maksud yang tepat. Ikhlas, sombong (takabbur) dan buruk sangka (su-uzhzhon) adalah istilah-istilah yang memiliki makna dan hukum tertentu dalam Islam. Maka, semestinya kita menggunakan kata tersebut sesuai dengan yang dimaksud oleh Islam.
Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah, pemahaman kita terhadap makna-makna istilah tersebut, bukan untuk mensifati atau menghakimi orang lain, melainkan untuk memuhasabah diri kita sendiri, agar senantiasa terjaga dari penyakit-penyakit hati tersebut.
Bukan kapasitas kita untuk menilai orang lain. Lagipula yang kita bicarakan ini adalah penyakit hati, penyakit yang hanya bergerak di hati (walaupun tidak menutup kemungkinan bisa ditampakkan melalui lisan atau perbuatan), sehingga tidak ada satupun orang yang tahu ada apa di balik hati orang lain. Itu urusan dia, dan hanya dia dan Allah yang mengetahui apa yang sedang bergerak di hatinya.
Maka, tidak sepatutnya kita mensifati orang lain dengan sebutan tidak ikhlas, sombong, atau buruk sangka. Karena kita tidak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Adapun apa yang nampak di penglihatan kita, sebatas itulah tugas kita untuk menasihatinya, tidak perlu mengorek-ngorek lebih dalam isi hatinya.
Ya, jika kita khawatir sahabat kita terjerumus dalam penyakit hati yang mematikan itu, alangkah baiknya jika kita menasihatinya. Berilah nasihat di saat ia sedang sendiri, sebab menasihati di tengah keramaian, itu lebih terasa sebagai penghinaan. Begitu Asy-Syafi'i mengajarkan pada kita dalam kitabnya, Diwan.
Wallahu a'lam. Semoga kita tidak salah paham. Semoga tulisan singkat ini berisi kebenaran.
abay abu hamzah, penulis Menggenggam Bara Islam, anomali, 2014